Pewarta: Anang Prasetio (MG-305) | Editor: Wahyu Nurdiyanto
TIMESINDONESIA, PALU – Suatu sore Minggu 20 Desember 2020, Muhammad Subarkah sedang sibuk meracik kopi di dalam mobil berlogo Volkswagen (WG) yang sudah dimodifikasi menjadi sebuah kafe unik. Kedua tangannya cekatan mengatur takaran demi menciptakan rasa kopi yang nikmat. Kopi-kopi itu dituang dalam cangkir klasik bercorak lurik lalu disajikan kepada pelanggannya yang sedari tadi duduk di depan Cafe Mobilenya.
Setelah menyajikan kopi kepada pelanggannya, Subarkah menceritakan bahwa kopi yang ia pasarkan merupakan salah satu bagian dari produk lokal dari desa dampingan Relawan Orang dan Alam (ROA).
Selain menjalani usaha kopi mobile, Subarkah juga sebagai Direktur ROA Sulteng. ROA adalah organisasi yang melakukan kerja-kerja kemanusiaan di beberapa desa dampingan di Sulteng.
“Kualitas kopi di Sulteng sangat bagus. Namun sayang, para petani masih sulit untuk memasarkannya. Melihat kondisi itu, saya kemudian mendirikan usaha kopi mobile dengan harapan, lewat usaha saya ini bisa membantu membantu petani kopi memasarkan kopi mereka sehibgga petani pun bisa tetap berdaya di masa pandemi ini,” ujarnya.
Ia merasakan begitu banyak tantangan terhadap pasar kopi saat ini dimana mereka memiliki banyak produk, tetapi tidak mengetahui bagaimana cara memasarkanya.
“Oleh karenanya, kami dari ROA secara kelembagaan membangun bisnis bersama dengan desa dampingan. Dimana mereka memproduksi dan kami mengambil bagian untuk memasarkan produk-produk, baik barang jadi maupun yang setengah jadi. Dari keseluruhan itu, kami dedikasikan kepada desa dampingan,” ucap Subarkah.
Seperti contoh kopi berjenis robusta ini, lanjut Subarkah, berasal dari kelompok usaha perempuan Matana yang berasal dari desa Litupu, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso. Dimana saat ini mereka mendapat dukungan dari lembaga yakni Kementrian Kehutanan. Bantuan yang diberikan berupa modal usaha dan ketrampilan mengolah kopi, mulai dari pasca panen hingga menjadi kopi, baik dalam bentuk biji dan bubuk.
“Oleh karenanya, kami mencari cara agar produk dari desa dampingan agar bisa laku di pasaran. Sebagaimana produk yang dihasilkan berupa dari hasil hutan bukan kayu. Selain itu, sisi lainnya dalam hal ini kami juga megedepankan persoalan-persoalan isu lingkungan. Dimana produk-produk yang kami hasilkan adalah produk yang ramah lingkungan. Hal ini juga merupakan bentuk dukungan kami dalam upaya meminimalisir resiko terhadap perubahan iklim,” ungkapnya.
Ia berharap dengan produk-produk yang ramah lingkungan ini, guna mengurangi dampak terhadap perubahan iklim. Untuk saat ini, pihaknya memiliki 14 desa dampingan yang tersebar diberbagai wilayah, diantaranya kabupaten Poso, Donggala dan Parigi Moutong.
“Sebelum adanya pendampingan, mereka dulu berkerja secara individu. Setelah proses pendampingan yang kami lakukan, saat ini mereka sudah berkelompok untuk memproduksi secara bersama-sama,” jelasnya.
Dalam pemasaran produk, pihaknya memiliki beberapa cara diantaranya melalui online dalam bentuk market place yang dinamai ROA e-store dan sosial medial yakni facebook, whatsapp, instagram. Selain itu, ia juga memasarkannya secara offline, dengan cara membuka kedai kopi di kantor yang diberi nama ROA Coffee.
Tidak hanya itu, sejak bulan November 2020 lalu, pemasaran secara mobile pun ia lakukan dengan menggunakan unit kendaraan yang telah dimodifikasi sedemikian rupa, selain untuk memudahkan melayani pelanggan. Dari modifikasi tersebut, ia harap menjadi daya tarik tersendiri bagi pelanggan.
“Untuk jadwal secara mobile, saat ini tidak selalu bisa rutin. Karena terkadang kami sempat kehabisan stok kopi. Ini juga jadi pembelajaran kami kedepannya untuk selalu mempersiapkan stok. Mengenai lokasinya, kami lebih memilih di titik keramaian. Hal ini merupakan upaya kami dengan istilah jemput bola,” kata Subarkah.
Berbagai macam produk yang ia coba pasarkan diantaranya, teh kelor, gula batok, madu manis dan agak pahit, anyaman rotan, anyaman pandan, gula semut dengan varian rasa original dan jahe. Termasuk olahan minyak kelapa dalam atau orang daerah menyebutnya minyak kampung.
Subarkah menyebutkan, kegiatan yang ia lakukan ini sudah berlangsung selama 3 tahun. Terhitung, semenjak pendampingan desa-desa yang mengusulkan perhutanan sosial, yakni desa-desa yang didampingi banyak mengelola produk hasil hutan bukan kayu.
“Untuk sementara ini, mengenai omset Kopi ROA bisa dikatakan belum memenuhi yang kami harapkan. Kami bergerak sama-sama pada tahun ini, dengan harapan kedepannya sama-sama bisa mendapat keuntungan, baik untuk memasarkan Usaha yang saya bangun saat ini, berdasarkan pengalamannya mendampingi beberapa des pihak memproduksi maupun yang memasarkan,” harapnya. (*)
Sumber:https://www.timesindonesia.co.id/read/news/317401/roa-kopi-kisah-dibalik-geliat-produk-lokal-sulawesi-tengah